Inflasi IPK dan Nilai yang Kehilangan Harga Diri, Sebuah Renungan tentang Krisis Integritas Akademik

1 day ago 6
Mustamin Raga (Pemerhati Masalah Sosial, Praktisi Pendidikan)

Oleh: Mustamin Raga (Pemerhati Masalah Sosial, Praktisi Pendidikan)

Dulu, ketika seseorang menyebutkan bahwa ia lulus dengan IPK 3,00, ada jeda sejenak dalam percakapan. Napas ditarik pelan. Ada decak kagum yang muncul, bukan karena angka itu fantastis, tapi karena kita tahu betul bahwa di balik angka itu ada waktu panjang yang melelahkan, hari-hari yang penuh tekanan, dan proses belajar yang penuh perjuangan.

IPK 3,00 adalah simbol dari jerih payah yang jujur, hasil dari benturan pikiran yang sungguh-sungguh, dan pancaran dari kualitas intelektual yang tidak bisa dicapai tanpa kerja keras dan integritas.

Hari ini, lain ceritanya. IPK 3,80 terdengar biasa. Cum laude seakan menjadi standar minimal. Semua orang tampak hebat di atas kertas. Nilai 4,00 bukan lagi kabar mengejutkan. Tapi coba ajak sebagian dari mereka berdiskusi secara kritis, ajukan persoalan rumit, atau minta mereka membedakan mana opini dan mana argumen berbasis data—sebagian akan terpana, kehilangan arah, bahkan bingung harus mulai dari mana.

Ini bukan karena tiba-tiba dunia dipenuhi oleh generasi jenius. Ini tentang inflasi IPK. Tentang tragedi dalam dunia akademik yang perlahan menggerus makna pendidikan.

IPK Sebagai Mata Uang yang Kehilangan Nilai Tukar

Mari kita analogikan IPK sebagai mata uang intelektual. Dahulu, ketika sistem pendidikan masih lebih idealis dan dosen masih memegang teguh prinsip evaluasi objektif, IPK menjadi alat tukar yang sah untuk mengukur kualitas intelektual seseorang. Seperti uang yang didukung cadangan emas, IPK yang tinggi didukung oleh kapasitas berpikir, pemahaman konseptual, dan kemampuan menyelesaikan persoalan nyata.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Read Entire Article
Relationship |