7 Buku Self-Healing yang Menenangkan Jiwa di Tengah Duka, Sehangat Film SORE

1 day ago 3

Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, tak semua luka terlihat dan tak semua rasa duka bisa segera reda. Ada kalanya kita hanya butuh duduk diam, ditemani secangkir teh hangat dan kisah-kisah yang menyentuh jiwa.

Seperti pengalaman emosional saat menonton film SORE: Istri dari Masa Depan, duka dan harapan hadir beriringan dalam alur yang tenang tapi menghunjam perasaan. Dibintangi oleh Sheila Dara dan Dion Wiyoko, film ini mengangkat kisah cinta lintas waktu yang menggugah, membuat kita merenung tentang takdir, pilihan, dan kesempatan kedua yang mungkin datang terlambat.

Terinspirasi dari kehangatan dan kedalaman emosi film SORE, tujuh buku self-healing ini (ada yang fiksi dan nonfiksi) hadir sebagai pelukan lembut bagi jiwa yang sedang mencari arah. Buku-buku ini menghadirkan ruang untuk memahami rasa sakit, menenangkan batin, dan memulihkan diri secara perlahan.

Cocok dibaca saat pagi, senja, atau malam hari yang sunyi, atau ketika hatimu terasa sesak oleh rindu dan kehilangan. Setiap halaman membawa pesan bahwa meski duka datang tanpa aba-aba, kita tetap bisa menemukan secercah harapan di antara puing-puing perasaan.

1. Lost and Found: Sebuah Perjalanan Mengarungi Duka

Buku Lost and Found karya Nirasha Darusman merupakan sebuah memoar yang dengan jujur dan artikulatif mengisahkan perjuangannya dalam menghadapi kedukaan yang mendalam.

Dalam kurun waktu tujuh tahun, Nira—sapaan akrab sang penulis—harus kehilangan empat anggota keluarganya, dan dari situlah perjalanan panjang penyembuhan batin dimulai.

Buku ini bukan sekadar catatan pengalaman pribadi, tetapi juga refleksi emosional tentang bagaimana duka menjadi bagian dari kehidupan yang terus berjalan. Nira menyebut bahwa kisah ini adalah perjalanan seumur hidupnya, sebuah proses yang tak instan namun penuh pelajaran mendalam.

Dalam buku setebal 200 halaman yang terbagi dalam empat bab utama—Lost, Grief, Found, dan Legacy—pembaca diajak menyelami setiap fase emosional yang ia alami. Mulai dari rasa kehilangan yang menghentak, proses berduka yang kompleks, hingga menemukan kembali makna dan harapan di balik luka.

Nira menulis buku ini karena merasa belum menemukan literatur berbahasa Indonesia yang membahas kedukaan secara menyeluruh dan personal. Melalui tulisannya, ia ingin berbagi sudut pandang baru tentang kematian dan duka, serta menawarkan mekanisme koping yang membumi. Buku ini hadir sebagai teman sejiwa bagi siapa pun yang sedang berusaha memahami, menerima, dan menyembuhkan rasa kehilangan.

2. Unfinished Goodbye: Ternyata Kita Belum Seselesai Itu

Unfinished Goodbye bukan sekadar kisah tentang kehilangan, melainkan jendela untuk menengok sisi terdalam dari diri kita sendiri—sisi yang sering kita abaikan karena penuh luka yang belum pulih sepenuhnya.

Melalui narasi yang menyentuh, novel ini membawa kita menyadari bahwa di balik keheningan dan ketegaran yang ditampilkan, bisa jadi tersimpan perasaan yang selama ini ditekan dan tak pernah benar-benar dituntaskan.

Di balik kisah Ranu Anggara, seorang psikolog yang tampak kuat namun menyimpan kegundahan, kita diajak merenungi pertanyaan mendasar: apakah kita benar-benar telah menghadapi luka kita, atau sekadar menguburnya dalam-dalam?

Melalui konflik batin tokohnya, Unfinished Goodbye menjadi ruang refleksi bagi siapa pun yang pernah merasa rapuh. Novel ini mengingatkan bahwa rasa sakit yang tak diselesaikan bisa kembali hadir sewaktu-waktu, dan keberanian untuk menghadapinya adalah awal dari pemulihan sejati.

3. Crying in H Mart

Hubungan antara ibu dan anak perempuan adalah ruang emosional yang kaya dan kompleks—penuh kehangatan namun tak luput dari gesekan perbedaan pandangan.

Kadang ada pelukan yang menenangkan, di lain waktu ada jeda akibat konflik yang tak terelakkan. Namun di balik itu semua, selalu ada kasih yang tak mudah digantikan, hadir dalam isyarat dan tindakan kecil yang sering kali tak terucapkan. Kedekatan ini tumbuh perlahan, membentuk ikatan batin yang dalam, meski tak selalu disadari atau diungkapkan secara langsung.

Ketika perpisahan datang, luka yang ditinggalkan terasa sangat dalam, seolah kehilangan lebih dari sekadar sosok ibu—tetapi juga kehilangan refleksi diri yang selama ini diam-diam menjadi panduan hidup.

Crying in H Mart karya Michelle Zauner menggambarkan kehilangan ini dengan ketulusan yang menyentuh. Memoar tersebut tak hanya mengisahkan duka, tetapi juga menghadirkan kenangan—terutama melalui makanan—sebagai penghubung emosional antara cinta seorang ibu dan pencarian jati diri sang anak.

4. Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring

Kehilangan buah hati untuk selama-lamanya sering kali menimbulkan kesedihan yang sangat mendalam. Duka itu hadir tanpa diundang, membentuk kekosongan besar dalam hati yang tak mudah diisi kembali.

Melanjutkan hidup tanpa kehadiran sosok yang begitu berarti menjadi tantangan tersendiri, karena kehadirannya selama ini telah menjadi bagian penting dalam kebahagiaan dan keseharian kita.

Setiap hari setelah kehilangan menjadi perjuangan baru yang harus dihadapi dengan perlahan. Tidak mudah menjalani rutinitas ketika seseorang yang dahulu memberi makna dalam hidup sudah tiada. Hanya saja, hidup terus bergerak, dan kita pun perlu belajar melangkah sambil berdamai dengan duka yang ada.

Meski tidak nyaman, proses ini penting agar kita tidak selamanya terjebak dalam kesedihan. Buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring hadir sebagai teman yang mengajak kita memahami cara menghadapi kehilangan dengan cara yang sederhana, namun penuh makna dan empati.

5. Ikhlas Penuh Luka

Pernah merasa seolah dunia terlalu sunyi saat kamu memikul beban hidup sendirian? Luka demi luka menghampiri tanpa henti, sampai akhirnya kamu lupa seperti apa rasanya merasa utuh dan damai.

Di tengah kegelapan dan pengalaman berduka itu, terkadang semesta mempertemukan kita dengan seseorang yang tak terduga—seseorang yang hadir begitu saja, namun mampu menyulut cahaya kecil dalam hati dan menyalakan kembali harapan untuk terus melangkah. Inilah yang dirasakan oleh Basri dan Genia dalam Ikhlas Penuh Luka karya Boy Chandra, sebuah kisah tentang dua jiwa yang pernah kehilangan dan perlahan belajar saling menemukan.

Dengan latar cerita yang sederhana tapi sarat makna, novel ini membawa pembaca menyelami perasaan terdalam tentang duka dan pengharapan. Pertemuan tak direncanakan di sebuah pemakaman justru menjadi awal dari perjalanan baru bagi Basri dan Genia.

Dari momen itu, hubungan mereka tumbuh melalui kehadiran yang jujur, saling memahami, dan kekuatan dalam menerima luka masing-masing. Sebuah kisah yang menunjukkan bahwa dalam kehilangan, terkadang kita justru dipertemukan dengan alasan untuk kembali percaya pada hidup.

6. Intermezzo

Intermezzo karya Sally Rooney kembali menghadirkan gaya penulisan khasnya yang intim dan reflektif. Dalam novel ini, Rooney mengeksplorasi kehidupan dua bersaudara, Peter dan Ivan, yang tengah bergulat dengan kehilangan ayah mereka.

Dengan narasi yang tenang namun tajam, Intermezzo menyelami kompleksitas hubungan antarpribadi dan cara manusia memaknai kesedihan, cinta, dan pencarian jati diri dalam dunia yang terus bergerak.

Seperti karya-karyanya sebelumnya, Rooney tak hanya bercerita, tetapi juga mengajak pembaca merenungi emosi yang sering tersembunyi di balik dialog dan keheningan.

Melalui karakter yang rapuh namun nyata, Intermezzo menghadirkan dinamika emosi yang tak berlebihan tapi tetap menggugah.

Relasi antara Peter yang berjuang menata hidup pasca kehilangan dan Ivan yang terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan besar tentang masa depan, menjadikan novel ini sebagai potret menyentuh tentang duka dan koneksi antar manusia.

Sally Rooney kembali membuktikan kemampuannya dalam meramu kisah yang sederhana secara plot, namun kompleks secara emosional—membuat pembaca merasa dilihat, dipahami, dan ditemani.

7. The Comfort Book

Ada banyak cara untuk mencari dan merasakan kenyamanan dalam hidup. Kita sering mencarinya lewat hal-hal eksternal—entah itu dari orang lain, aktivitas tertentu, atau suasana yang menenangkan. Tapi pernahkah terpikir bahwa sumber kenyamanan juga bisa berasal dari dalam diri sendiri? Meski tak selalu mudah untuk menemukannya, kenyamanan batin adalah sesuatu yang bisa diupayakan dengan kesadaran dan penerimaan terhadap diri sendiri.

The Comfort Book karya Matt Haig hadir sebagai pengingat lembut bahwa ketenangan bisa ditemukan dalam hal-hal sederhana, termasuk dalam kata-kata.

Buku ini menghadirkan kehangatan emosional melalui tulisan-tulisan singkat yang menyentuh, cocok dibaca saat kita merasa lelah, cemas, atau sendirian. Dengan membaca buku ini, kita diajak untuk kembali menghargai diri sendiri, dan menyadari bahwa hidup yang kita jalani, seberat apa pun, tetap layak untuk diperjuangkan dengan penuh harapan.

Sahabat Fimela, melewati duka memang bukan perjalanan yang mudah. Tapi kamu tidak sendirian. Buku-buku ini, seperti halnya film SORE: Istri dari Masa Depan, bisa menjadi teman yang setia dalam perjalanan penyembuhanmu. Semoga dengan membaca, kamu bisa menemukan ketenangan, kekuatan, dan makna baru dari setiap kehilangan yang pernah singgah.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Relationship |